10 Mata Uang Paling Tua di Indonesia
Nusantara pada masa lalunya dapat
dikatakan sebagai zambrud khatulistiwa, adalah salah satu kawasan yang
sudah mempunyai peradaban yang cukup tinggi dan maju pada zamannya.
Semua itu tak terlepas karena posisi
geografis kepulauan Nusantara yang berada diatas khatulistiwa, kawasan
yang selalu dapat ditanami tiap saat akibat tersinari matahari sepanjang
tahun.
Juga karena kandungan geologinya,
terbentuknya pulau-pulau di Nusantara yang menyembul diatas laut,
menjadikannya pulau yang aslinya adalah gunung dan pegunungan, membuat
kawasan itu mempunyai banyak kandungan tambangnya.
Borobudur temple
Dengan sumber alamnya yang kaya dan
sangat banyak, tak heran jika di kawasan ini sudah banyak sekali
terdapat pasar-pasar besar ditiap kerajaannya.
Pasar-pasar yang pada masa kini mungkin
sekelas “free trade area” di Nusantara tersebut, selalu ramai disinggahi
oleh kerajaan-kerajaan lainnya nan jauh berada disebrang samudera
selama berabad-abad lamanya.
Perdagangan di pasar-pasar besar di
Nusantara tersebut tak hanya terkenal di negeri jiran, namun juga
terkenal hingga di kerajaan-kerajaan manca negara seperti daerah Cina,
India, Arab, hingga oleh kerajaan-kerajaan di benua Afrika.
Nusantara yang kaya akan alamnya, membuat
tak ada putusnya kerajaan-kerajaan nan jauh disana selalu berusaha
ingin menjalin hubungan perdagangan dengan kerajaan-kerajan di Nusantara
yang hasil buminya melimpah.
Namun dalam urusan mata uang, Nusantara
masih terbilang muda dalam mengenal mata uang sebagai alat pembayaran.
Karena pada masa itu, kebanyakan mereka masih menggunakan cara barter,
baik dengan hasil perkebunan, ternak ataupun beberapa jenis keping logam
tarmasuk perak dan emas tapi bukan berupa mata uang resmi kerajaan.
Tercatat pada sejarah, bahwa negeri ini
baru mempunyai uang resmi pada sekitar abad ke 8, itupun karena adanya
pengaruh dari mitra negara-negara tetangga, yang juga berdagang disaat
itu namun sudah mempunyai mata uangnya sendiri (seperti Arab, China dan
India).
Sejarah uang Indonesia dimulai sejak masa
jaya Kerajaan Mataram Kuno, yakni sekitar tahun 850 M. Kerajaan ini
menggunakan koin-koin emas dan perak berbentuk kotak sebagai alat
tukarnya. Berikut ini adalah 10 daftar mata uang tertua di Nusantara
yang telah diketahui atau telah ditemukan sampai saat ini:
1. Uang era Dinasti Syailendra (850 M)
Terbuat dari emas atau disebut pula sebagai keping tahil Jawa,
sekitar abad ke-9. Koin-koin tersebut dicetak dalam dua jenis bahan
emas dan perak, mempunyai berat yang sama dan mempunyai beberapa nominal
satuan:
- Masa (Ma), berat 2.40 gram – sama dengan 2 Atak atau 4 Kupang
- Atak, berat 1.20 gram – sama dengan ½ Masa, atau 2 Kupang
- Kupang (Ku), berat 0.60 gram – sama dengan ¼ Masa atau ½ Atak
Sebenarnya masih ada satuan yang lebih kecil lagi, yaitu ½ Kupang (0.30 gram) dan 1 Saga (0,119 gram).
Di belakangnya terdapat incuse (lekukan
ke dalam) yang dibagi dalam dua bagian, masing-masing terdapat semacam
bulatan. Dalam bahasa numismatic, pola ini dinamakan “Sesame Seed”.
Sedangkan koin perak Masa mempunyai diameter antara 9-10 mm. Pada bagian muka dicetak huruf Devanagari “Ma” (singkatan dari Masa) dan di bagian belakangnya terdapat incuse dengan pola “Bunga Cendana”.
2. Uang Krishnala, Kerajaan Jenggala (1042-1130 M)
Pada waktu itu, uang kepeng Cina yang
didatangkan oleh para pedagang Cina sebagai alat tukar dan barter begitu
banyak, sehingga saking banyak jumlahnya yang beredar maka akhirnya
dipakai juga secara “resmi” sebagai alat pembayaran, menggantikan secara
total fungsi dari mata uang lokal emas dan perak.
Kerajaan Janggala, adalah salah satu dari
dua pecahan kerajaan yang dipimpin oleh Airlangga dari Wangsa Isyana.
Kerajaan ini berdiri tahun 1042, dan berakhir sekitar tahun 1130-an.
Lokasi pusat kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di wilayah
Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Sedangkan Kerajaan Negara Daha, adalah
sebuah kerajaan Hindu (Syiwa-Buddha) yang pernah berdiri di Kalimantan
Selatan satu zaman dengan kerajaan Islam Giri Kedaton. Kerajaan Negara
Daha merupakan pendahulu Kesultanan Banjar. Pusat
pemerintahan/ibukotanya ada di Muhara Hulak atau Negara (di tepi sungai
Negara dan berjarak 165 km di sebelah utara Kota Banjarmasin, sekarang
kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan).
Sedangkan bandar perdagangan dipindahkan
dari pelabuhan lama Muara Rampiau (sekarang desa Marampiau) ke pelabuhan
baru di Bandar Muara Bahan (sekarang kota Marabahan, Barito Kuala).
Kerajaan Negara Daha merupakan kelanjutan dari Kerajaan Negara Dipa yang
saat itu berkedudukan di Kuripan/Candi Agung, (sekarang kota Amuntai).
3. Uang “Ma” Kerajaan Majapahit (Abad ke-12)
Bendera Kerajaan Majapahit
Mata uang Jawa dari emas dan perak yang
ditemukan kembali termasuk di situs kota Majapahit ini, kebanyakan
berupa perkembangan dari dinasti sebelumnya, uang “Ma”, (singkatan dari
Māsa) zaman dinasti Syailendra (pada poin nomer 1) yang dalam huruf
Nagari atau Siddham, kadang kala dalam huruf Jawa Kuno.
Di samping itu beredar juga mata uang
emas dan perak dengan satuan tahil, yang ditemukan kembali berupa uang
emas dengan tulisan “ta” dalam huruf Nagari (pada poin nomer 1). Kedua
jenis mata uang tersebut memiliki berat yang sama, yaitu antara 2,4 –
2,5 gram.
Selain itu masih ada beberapa mata uang
emas dan perak berbentuk segi empat, ½ atau ¼ lingkaran, trapesium,
segitiga, bahkan tak beraturan sama sekali.
Uang ini terkesan dibuat apa adanya,
berupa potongan-potongan logam kasar; yang dipentingkan di sini adalah
sekedar cap yang menunjukkan benda itu dapat digunakan sebagai alat
tukar.
Tanda “tera” atau cap pada uang-uang
tersebut berupa gambar sebuah jambangan dan tiga tangkai tumbuhan atau
kuncup bunga (teratai?) dalam bidang lingkaran atau segi empat.
Jika dikaitkan dengan kronik Cina dari
zaman Dinasti Song (960 – 1279) yang memberitakan bahwa di Jawa orang
menggunakan potongan-potongan emas dan perak sebagai mata uang, mungkin
itulah yang dimaksud.
4. Uang Gobog Wayang, Kerajaan Majapahit (Abad k-13)
Majapahit Soldier
Bentuknya bulat dengan lubang kotak ditengah karena pengaruh dari koin cash dari Cina ataupun koin-koin serupa lainnya yang berasal dari Cina atau Jepang.
Koin Gobog Wayang adalah asli buatan lokal, namun tidak digunakan sebagai alat tukar (hanya sebagai koin token).
Sebenarnya koin-koin ini digunakan untuk
persembahan di kuil-kuil seperti yang dilakukan di Cina ataupun di
Jepang sehingga disebut juga sebagai “koin-koin kuil”.
Setelah redup dan runtuhnya kerajaan
Majapahit di Jawa Timur pada sekitar tahun 1528, maka mulai muncul
kerajaan Banten di Jawa bagian barat. Kerajaan Banten dikenal juga
sebagai kerajaan dengan ibukota dagangnya yang semakin ramai.
5. Uang Dirham, Kerajaan Samudera Pasai (1297 M)
Belum begitu banyak bukti arkeologis
tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah.
Namun beberapa sejarahwan memulai menelusuri keberadaan kerajaan ini
bersumberkan dari Hikayat Raja-raja Pasai, dan ini dikaitkan dengan
beberapa makam raja serta penemuan koin berbahan emas dan perak dengan
tertera nama rajanya.
Mata uangnya disebut “Dirham” atau “Mas” dan mempunyai standar berat 0,60 gram (berat standar Kupang).
Namun ada juga koin-koin Dirham Pasai
yang sangat kecil dengan berat hanya 0,30 gram (1/2 dari Kupang atau 3
kali Saga). Uang Mas Pasai mempunyai diameter 10–11 mm, sedangkan yang
1/2 Mas berdiameter 6 mm.
Pada hampir semua koinnya ditulis nama
Sultan dengan gelar “Malik az-Zahir” atau “Malik at-Tahir”. Nama dirham
menunjukkan pengaruh kuat pedagang Arab dan budaya Islam di kerajaan
tersebut.
6. Uang Kampua, Kerajaan Buton (Abad ke-14)
Buton adalah sebuah pulau yang terletak
di sebelah tenggara Pulau Sulawesi. Pada zaman dahulu di daerah ini
pernah berdiri Kerajaan Buton yang kemudian berkembang menjadi Kesultanan Buton. Satu lembar uang Kampua senilai dengan satu butir telur di masanya.
Menurut cerita rakyat Buton, Kampua
pertama kali diperkenalkan oleh Bulawambona, Ratu kerajaan Buton yang
kedua, yang memerintah sekitar abad XIV sebelum Kerajaan Buton menjadi
Kesultanan.
Setelah ratu meninggal, lalu diadakan suatu “pasar” sebagai tanda peringatan atas jasa-jasanya bagi kerajaan Buton.
Pada pasar tersebut orang yang berjualan mengambil tempat dengan mengelilingi makam Ratu Bulawambona.
Setelah selesai berjualan, para pedagang
memberikan suatu upeti yang ditaruh diatas makam tersebut yang nantinya
akan masuk ke kas kerajaan. Cara berjualan ini akhirnya menjadi suatu
tradisi bagi masyarakat Buton, bahkan sampai dengan tahun 1940.
Buton dikenal dalam Sejarah Indonesia
karena telah tercatat dalam naskah Nagarakretagama karya Prapanca pada
Tahun 1365 Masehi dengan menyebut Buton atau Butuni sebagai Negeri
(Desa) Keresian atau tempat tinggal para resi dimana terbentang taman
dan didirikan lingga serta saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia
Mahaguru. Nama Pulau Buton juga telah dikenal sejak zaman pemerintahan
Majapahit. Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa, menyebut nama Pulau
Buton.
7. Uang Kasha Banten, Kesultanan Banten (Abad ke-15)
Bendera Kesultanan Banten
Kesultanan Banten merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri dan sekarang lokasi wilayahnya persis berada di Provinsi Banten, Indonesia.
Berawal sekitar tahun 1526, ketika
Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau
Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian
menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.
Seiring dengan kemunduran Demak terutama
setelah meninggalnya Trenggana (dikenal juga sebagai Tung Ka Lo adalah
raja Demak ketiga 1505-1518 dan 1521-1546.), Banten yang sebelumnya
vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan
yang mandiri.
Mata uang dari Kesultanan Banten pertama kali dibuat sekitar 1550-1596 Masehi.
Bentuk koin Banten mengambil pola dari
koin cash Cina yaitu dengan lubang di tengah, dengan ciri khas persegi 6
pada lubang tengahnya (heksagonal).
Inskripsi bagian muka pada mulanya dalam bahasa Jawa: “Pangeran Ratu”.
Namun setelah mengakarnya agama Islam di Banten, inskripsi diganti dalam bahasa Arab, “Pangeran Ratu Ing Banten”.
Terdapat beberapa jenis mata-uang lainnya
yang dicetak oleh Sultan-sultan Banten, baik dari tembaga ataupun dari
timah, seperti yang ditemukan pada beberapa tahun yang lalu.
8. Uang Jinggara, Kesultanan Gowa (Abad ke-16)
Salah satunya dikeluarkan atas nama
Sultan Hasanuddin, raja Gowa yang memerintah pada tahun 1653-1669.
Selaing itu beredar juga uang dari bahan campuran timah dan tembaga yang
disebut “Kupa”.
Kesultanan Gowa
atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling
sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan
ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir
barat Sulawesi.
Wilayah kerajaan ini sekarang berada di
bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya. Kerajaan ini
memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang
saat itu melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar
(1666-1669) terhadap VOC yang dibantu oleh Kerajaan Bone yang dikuasai
oleh satu wangsa Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka.
9. Uang Picis, Kesultanan Cirebon (1710 M)
Bendera Kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon
adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15
dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan
dan pelayaran antar pulau.
Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Hal itu membuatnya menjadi pelabuhan dan
“jembatan” antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu
kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi
kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
Sultan yang memerintah kerajaan Cirebon
pernah mengedarkan mata uang yang pembuatannya dipercayakan kepada
seorang Cina. Uang timah yang amat tipis dan mudah pecah ini berlubang
segi empat atau bundar di tengahnya, disebut Picis.
Uang koin jenis Picis ini dibuat sekitar
abad ke-17. Di sekeliling lubang ada tulisan Cina atau tulisan berhuruf
Latin yang berbunyi “CHERIBON”.
10. Uang Real Batu, Kesultanan Sumenep (1730 M)
Symbol Keraton Sumenep
Kerajaan Sumenep di Madura mengedarkan
mata uang yang berasal dari uang-uang asing yang kemudian diberi cap
bertulisan Arab berbunyi “SUMANAP” sebagai tanda pengesahan.
Uang kerajaan Sumenep yang berasal dari uang Spanyol disebut juga “Real Batu” karena bentuknya yang tidak beraturan.
Pada masanya Kerajaan ini sebenarnya bernama Kadipaten Sumenep
(atau sering dikenal sebagai Kadipaten Madura), adalah sebuah monarki
yang pernah menguasai seluruh Pulau Madura dan sebagian daerah tapal
kuda. Pusat pemerintahannya berada di Kota Sumenep sekarang.
Pada tahun 1269, dimasa pemerintahan Arya
Wiraraja wilayah ini berada dibawah pengawasan langsung Kerajaan
Singhasari dan Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1559, dimasa pemerintahan
Kanjeng Tumenggung Ario Kanduruwan, wilayah yang terletak di Madura
Timur ini berada pada kekuasaan penuh Kesultanan Demak dan baru pada
pemerintahan Pangeran Lor II yang berkuasa pada tahun 1574, wilayah
Kadipaten Sumenep berada dibawah pengawasan langsung Kasultanan Mataram.
Pada tahun 1705, akibat perjanjian
Pangeran Puger dengan VOC, wilayah ini berada dalam kekuasaan penuh
Pemerintahan Kolonial. Selama Sumenep jatuh kedalam wilayah pemerintahan
Hindia-Belanda, wilayah ini tidak pernah diperintah secara langsung,
para penguasa Sumenep diberi kebebasan dalam memerintah wilayahnya namun
tetap dalam ikatan-ikatan kontrak yang telah ditetapkan oleh Kolonial
Kala itu.
Selanjutnya pada tahun 1883, Pemerintah
Hindia Belanda mulai menghapus sistem sebelumnya (keswaprajaan),
Kerajaan-kerajaan di Madura termasuk di Sumenep dikelola langsung oleh
Nederland Indische Regening dengan diangkatnya seorang Bupati. Semenjak
itulah, sistem pemerintahan Ke-adipatian di Sumenep berakhir. (wikipedia/ berbagai sumber)
Alkisah…
Alkisah…. dahulu kala, dimana emas masih
menjadi alat pembayaran di dunia seperti mata uang emas dirham, dinar
dan lainnya, dikala itupun negara miskin akan emas, terpuruk. Lalu nan
terpuruk menciptakan mata uang lainnya tanpa kandungan emas didalamnya,
currency.
Dibuat currency hanya dari logam biasa,
bahkan hanya dari secarik kertas. Hanya menaruhkan angka, hanya angka
yang tertera. Lalu, emas ditukarkan dengan currency. Emas ditukar
kertas, gila. Yang kaya emas pun menjualnya. Menukar emasnya menjadi
secarik kertas.
Yang terpuruk, kertas ciptaannya ditukar
emas, lebih gila. Maka emas ditimbun jua oleh yang terpuruk, kayalah ia.
Maka, yang tadinya kaya emas bertukar menjadi yang terpuruk.
Disaat ekonomi mengguncang, yang
sebenarnya kaya emas, tiada emas. Yang terpuruk justru kaya akan emas,
tertimbun, menggunung. Maka, duniapun dibalik, walau tetap berputar.
Sang terpuruk pun bermain, bermain dengan
licik, karena emasnya menggunung, mempermainkan yang tadinya kaya,
menggurasnya jua, mempermainkan dunia, uang, power, kontrol, sejak ia
menciptakan logam biasa, bahkan hanya dari secarik kertas, lalu, ditukar
EMAS.
Selamat lahir di dunia yg fana, jangan khawatir, karena bisa jadi ini hanya untuk sementara saja. (penulis, IndoCropCircles.wordpress.com)
Comments
Post a Comment